klicks Admin
Jumlah posting : 25 Points : 72 Reputation : 0 Join date : 27.06.11
| Subyek: BUDAYA KATROL NILAI Mon Jun 27, 2011 10:50 pm | |
| Kalau anda, para guru sempat membaca Totto Chan, buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang mantan murid SD yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, sebuah SD yang sangat revolusioner dalam gaya belajar dan pengajarannya, anda akan berpikir ulang ketika anda akan mengatrol nilai para murid.sekolah yang didirikan oleh Kobayashi adalah sekolah yang benar-benar unik. Bagaimana tidak unik jika metode pendidikan Kobayashi, seperti yang ditulis oleh Kuroyanagi dihalaman-halaman terakhir bukunya, adalah sebuah cara mendidik yang dilandasi rasa yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik, berarti watak baik itu telah dicemari dan dirusak oleh lingkungan yang buruk atau pengaruh negatif dari orang dewasa sekitarnya. Kobayashi mendirikan sekolah itu dengan tujuan untuk mengembalikan watak baik anak-anak dan mengembangkannya, sehingga mereka akan memiliki kepribadian yang khas di masa dewasanya. Maka, mengacu pada keyakinan Kobayash, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita sadar atau tidak telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah mereka secara tidak langsung diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras. Yang salah sehingga timbulnya budaya katrol nilai adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Jika seorang anak tidak mendapatkan nilai yang baik, pasti dia dianggap tidak cerdas (bodoh). Sungguh suatu pandangan yang sangat salah. Kita bisa lihat di sekitar, anak yang pulang dengan buku raport yang “hitam” sempurna pasti orang tua akan sangat gembira dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilai raportnya “merah” orang tua akan memarahi dan menghukum, bahkan malu dengan anaknya yang di cap sebagai anak yang bodoh. “Penyakit” ini tidak hanya menjangkiti orang tua, melainkan juga guru (yang tidak mau dianggap gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa), sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah yang tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi budaya baru. Orang tua dan kita para guru serta sekolah lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis dilembar raport atau transkip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang sangat melelahkan inilah yang paling penting. Saya disini mengajar bahasa Inggris, saya sering mendengar keluhan siswa yang berkata bahwa pelajaran bahasa Inggris sangat sulit. Ibaratnya mereka berpikir bahwa kita tidak perlu menjual es cendol sampai ke Inggris, saya berpikir itu memang betul. Mereka bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika mereka tekun belajar bahasa Inggris (dan pelajaran-pelajaran lain) maka sebetulnya mereka akan terbiasa untuk berpikir secara kontinyu. Kalau mereka sudah terbiasa berpikir begitu, maka mereka akan mendapatkan semacam “kunci” untuk keluar dari permasalahan yang akan mereka temui di masa yang akan datang.
| |
|